MENGHAPUS RADIKALISME DAN MEMUNCULKAN PLURALISMEDALAM WAJAH PENDIDIKAN
ISLAM DI INDONESIA
I.PENDAHULUAN
Indonesia mempunyai beragam suku, bahasa dan budaya yang berbeda-beda dan
telah ada dari zaman dulu dan telah mengakar pada diri dan kebiasaan pada suku
masing-masing, dalam penelitian etnologis misalnya, diketahui bahwa Indonesia
terdiri atas kurang lebih 600 suku bangsa dengan identitasnya masing-masing
serta kebudayaannya yang berbeda beda. Selain dari kehidupan suku-suku tersebut
yang terkonsentrasi pada daerah-daerah tertentu, terjadi pula konsentrasi
suku-suku di tempat lain karena migrasi atau karena mobilisasi penduduk yang
cepat.
Dalam kaitannya
mengenai hidup bermasyarakat, kita tidak boleh bersikap hanya mementingkan diri
sendiri atau golongan saja, kita harus menengok kanan kiri kita yang berbeda
prinsip dan gaya hidup dengan kita. Sudah selayaknya manusia hidup di dunia ini
membutuhkan manusia lainnya untuk bertahan hidup mengingat kita adalah makhluk
sosial yang seharusnya menjunjung tinggi nilai keragaman budaya dan agama yang tentunya harus berusaha terhindar
dari sifat individual. Dalam kaitannya dengan keberagamaan, Banyak para ahli
dan pemuka agama telah berusaha dengan segala cara demi terciptanya hubungan
yang harmonis diantara umat beragama, di negeri Indonesia yang terkenal sangat
pluralistik ini. nilai-nilai keagamaan yang pluralis, toleran menjadi sebuah
keniscayaan di bumi Nusantara ini, dengan harapan gerakan radikalisme yang
mengatasnamakan agama dapat terbendung dan tidak akan semakin merajalela di
Indonesia.
Untuk memperoleh keberhasilan bagi terealisasinya tujuan mulia yaitu
perdamaian dan persaudaraan abadi di antara orang-orang yang pada realitasnya
memang memiliki agama dan iman berbeda, perlulah kiranya adanya keberanian
mengajak mereka melakukan
perubahan-perubahan semisal di bidang pendidikan, terutama sekali melalui
kurikulumnya yang berbasis keanekaragaman. Sebab, melalui kurikulum seperti
ini, memungkinkan untuk bisa
‘membongkar’ teologi agama masing-masing yang selama ini cenderung
ditampilkan secara eksklusif sehingga mendoktrin peserta didik untuk tidak
memberikan ruang gerak bagi paham dan agama lain untuk menjalankan dan
mengekspresikan agama mereka masing-masing yang berakibat timbulnya
fanatis-fanatis agama yang tidak bertanggungjawab dan seakan tidak perduli
dengan hak dan kerukunan dalam keberagamaan. Tak dapat di pungkiri juga bahwa
kita harus bersikap eksklusif dan harus meyakini dengan agama yang kita peluk
adalah yang terbaik dan benar, tapi kita tidak boleh mengesampingkan sosial
kita, bahwa banyak yang tidak sepaham dan memeluk agama lain, kita harus
menumbuhkan sikap plural yang menjunjung
tinggi nilai keragaman demi terciptanya suatu perdamaian dan saling toleran
terhadap golongan dan masyarakat lain.
Berangkat dari pembahasan diatas, penulis ingin mengutarakan dan
menggambarkan bagaimana keefektifitasan sikap pluralisme mengatasi sikap
radikalisme pendidikan islam yang mengakibatkan efek negatif bagi persatuan dan
kesatuan negara Indonesia ini dan untuk menciptakan perdamaian dan saling
toleran terhadap semua pemeluk agama.
II. RUMUSAN MASALAH
1.
Apa
pengertian dari radikalisme dan pluralisme bila dipandang dari sudut pendidikan
islam?
2.
Bagaimana
cara menghindarkan dan membenahi pendidikan islam dari radikalisme dan
menggantinya dengan faham pluralis?
III.PEMBAHASAN
1.
Pengertian
radikalisme dan pluralisme menurut pandangan islam
a.
Pengertian
radikalisme.
Radikalisme menurut
bahasa, berasal dari bahasa Latin radix, radicis, artinya akar ; (radicula,
radiculae: akar kecil). Berbagai makna radikalisme, kemudian mengacu pada
kata “akar” atau mengakar. Perubahan radikal berarti perubahan yang mengakar,
karena hal itu menyangkut penggantian dasar-dasar yang berubah tadi. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, radikal diartikan sebagai secara menyeluruh,
habis-habisan, amat keras menuntut perubahan, dan maju dalam berpikir atau
bertindak Islam radikal mengandung makna kelompok Islam yang memiliki keyakinan
ideologis tinggi dan fanatik yang mereka perjuangkan untuk menggantikan tatanan
nilai dan sistem yang sedang berlangsung.
Dengan demikian, radikalisme
dapat dipahami sebagai paham yang mengacu pada fondasi yang sangat mendasar,
fanatik keagamaanya cukup tinggi, tidak jarang penganut paham ini menggunakan
kekerasan dalam mengaktualisasikan paham keagamaan yang dianut dan diyakininya.
Kaum radikalis menginginkan adanya perubahan atau pembaruan sosial-keagamaan
secara mendasar dengan sistem atau tata nilai baru yang diyakininya.
Radikalisme tidak saja berupa paham atau ideologi keagamaan yang bersifat
wacana dan pemikiran, pada batas-batas tertentu paham ini dapat menjelma dalam
bentuk gerakan dan aksi-aksi di lapangan. Moreno berpendapat dalam Suatu keyakinan tidaklah
berarti apa-apa manakala tidak diekspresikan dalam tindakan beragama yang
sesuai aturan oleh manusia, atau bisa dikatakan sebagai penerapan konkret
nilai-nilai yang dimiliki agama yag dianut.[1]
Pendapat tersebut mengacu pada aturan-aturan agama yang menjadikan patokan kita
dalam hidup. Pada dasarnya semua agama mengajarkan tentang sikap toleran dan
saling menghormati antar agama, mungkin dari ideologi-ideologi yang kurang
terlalu memahami tentang nilai-nilai plural dan makna plural yang hanya di
fahami secara harfiyah saja, maka timbul lah fanatis-fanatis agama yang
bersifat radikal dan sering menyelesaikan persoalan dengan kekerasan.
Dalam kaitannya mengenai
pendidikan, sikap radikalisme sering di kaitkan sebagai kekerasan yang di
lakukan oleh peserta didik yang akhir-akhir ini sedang marak terjadi.
Sikap-sikap yang terlalu fanatik dan kekerasan
watak yang telah terbentuk dari pendoktrinan yang kurang tepat, sehingga
membentuk mereka menjadi generasi-generasi anarkis yang lebih mementingkan otot
(kekerasan) daripada otak dalam menyelesaikan masalah, dan lambat laun negara
tercinta kita ini akan dikenal sebagai
negara yang anarkis dan tidak dikenal lagi dengan negara yang dengan adat
ketimuran nya yang mempunyai karakter yang baik dan santun lagi dikarenakan generasi-generasi
muda yang telah kehilangan jati diri jadi warga indonesia dan
pemikiran-pemikiran yang telah teracuni oleh ideologi-ideologi yang merusak.
Perlu adanya upaya yang
kongkrit dari pihak pengajar, lingkup sekolah dan pemerintah ataupun perbaikan
sistem kurikulum yang tepat untuk mengatasi masalah tersebut, unsur-unsur
tersebut harus bahu-membahu bekerja keras untuk mencetak generasi-generasi yang
berkualitas, menjunjung tinggi nilai keberagamaan dan keragaman yang meliputi apapun
di Indonesia. Lebih khusus dibidang pendidikan Islam, perlunya memperbaharui
dan mengembangkan kurikulum PAI yang berbasis keanekaragaman tersebut dengan
suatu pertimbangan kurikulum dan metode merupakan elemen penting dalam proses
belajar mengajar.
b.
Pengertian
pluralisme
Pluralisme (bahasa Inggris: pluralism), terdiri
dari dua kata plural (=beragam) dan isme (=paham) yang berarti
beragam pemahaman, atau bermacam-macam paham.
Pluralisme dapat
didefenisikan bahwa sebuah paham tentang pluralitas. Paham bagaimana melihat
keragaman dalam agama-agama, mengapa dan bagaimana memandang agama-agama, yang
begitu banyak dan beragam. Bicara tentang pluralisme tidak serta merta membahas
tentang keyakinan semata, tetapi tujuan yang utama adalah tentang bagaiman kita
menjaga agar kerukunan antar umat beragama bisa terus terjaga dan saling
toleran terhadap sesama. Tetapi pluralisme
tidak boleh dipahami hanya sekedar sebagai “kebaikan negatif” (negative good),
hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme. Tetapi,
pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebinekaan dalam
ikatan-ikatan keadaban”. Bahkan, pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi
keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan
pengimbangan yang dihasilkannya.
Secara doktrinal-tekstual
orang Islam akan mengatakan bahwa agama mereka adalah agama penyebar
perdamaian, karena setiap kali bertemu dengan orang lain mengucapkan
"Assalamualaikum". Orang Kristen Katolik mengklaim bahwa agama
Kristiani adalah agama cinta, yang diimplementasikan lewat ajaran Diakonia.
Orang Hindu begitu juga akan mengatakan bahwa agamanya menekankan Dharma. Orang
Budha akan bilang bahwa agamanya sama, yaitu hendak melepaskan diri dari
penderitaan manusia.
Agama seharusnya
menjadi pendorong bagi umat manusia untuk selalu menegakkan perdamaian dan
meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh ummat manusia di bumi ini.
Secara normatif
tidak ada satu agama pun yang memerintahkan pengikutnya untuk melakukan
kekerasan kepada pengikut agama lain. Namun secara historis-faktual, banyak
sekali dijumpai tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama.
Dalam kaitannya mengenai dunia pendidikan, Dengan
menyadari bahwa masyarakat kita terdiri dari banyak suku dan beberapa agama,
jadi sangat pluralis. Maka, pencarian bentuk pendidikan alternatif mutlak
diperlukan. Yaitu suatu bentuk pendidikan yang berusaha menjaga kebudayaan
suatu masyarakat dan memindahkanya kepada generasi berikutnya, menumbuhkan akan
tata nilai, memupuk persahabatan antara siswa yang beraneka ragam suku, ras,
dan agama, mengembangkan sikap saling memahami, serta mengerjakan keterbukaan
dan dialog. Tetapi tak lupa juga kita terlebih dahulu menanamkan dan membekali
ilmu-ilmu agama yang masing-masing di anut supaya tidak terbawa dan terpengaruh
oleh agama lain dan dalam kaitannya mengenai pendidikan islam, perlu adanya
pengertian dan sosialisasi dari pemerintah maupun para pendidik untuk
memunculkan kesan kepada peserta didik tentang wajah islam yang toleran teradap
agama lain, sehingga pandangan yang terbentuk adalah islam yang cinta damai dan
peserta didik pun akan dapat menghormati pemeluk agama lain.
2.
Menghindari
radikalisme dan menampilkan wajah pluralisme dalam dunia pendidikan Islam di
Indonesia.
Terkait dengan banyaknya gejala radikalisme yang lahir dan tumbuh di
lingkungan pendidikan khususnya Islam yang terjadi akhir-akhir ini, banyak
faktor yang terjadi, diantaranya dari lingkungan disekitar sekolah bahkan
sampai dengan ideologi-ideologi para pendidik yang masih bersifat kolot, tanpa
sadar dapat mencetak pemikiran-pemikiran radikal dan dapat merubah karakter
manusia itu sendiri.
Menurut Armahedi Mahzar
menyebutkan bagian dari radikalisme bahwa absolutisme, eksklusivisme, fanatisme,
ekstrimisme, dan agresivisme adalah “penyakit” yang biasanya menghinggapi
aktifis gerakan keagaman. Absolutisme adalah kesombongan intelektual;
ekslusivisme adalah kesombongan sosial; fanatisme adalah kesombongan emosional;
ekstremisme adalah berlebih-lebihan dalam bersikap; dan agresivisme adalah
berlebih-lebihan dalam melakukan tindakan fisik jadi sikap radikal sangatlah
berbahaya bila telah menguasai pemikiran-pemikiran peserta didik yang bila
telah terpengaruh pada ideologi siswa akan berakibat sering terjadinya tawuran
antar sekolah, lingkungan sekolah menjadi tidak aman dan keadaan yang ada di
lingkungan sekolah tidak bisa kondusif dan masih banyak lagi efek-efek negatif
yang timbul jika faham radikalis telah menguasai generasi-generasi bangsa. Maka
dari itu perlu adanya langkah kongkrit dari institusi dan lembaga terkait untuk
menjadikan perbedaan itu indah dan tidak mengurangi sedikitpun kepercayaan yang
kita anut.
Menelisik tentang
pandangan Islam mengenai keragaman, perbedaan itu, bukanlah warna kulit dan
bangsa, tetapi hanyalah tergantung pada tingkat ketaqwaan masing-masing. Inilah
yang menjadi dasar perspektif Islam tentang “kesatuan umat manusia” (universal
humanity), yang pada gilirannya akan mendorong berkembangnya solidaritas antar
manusia (ukhuwah insâniyyah).
Pendidikan islam dapat
dijadikan sebagai alat untuk mencetak generasi-generasi yang mengerti dan
menghargai perbedaan sehingga negara kita ini lambat laun akan berubah damai,
tentram, aman dan yang terpenting tidak ada lagi fanatis-fanatis yang tidak
bertanggungjawab merusak dan menghancurkan ketenangan dan ketentraman bangsa
Indonesia dengan cara : pertama perlu
diadakannya pembaharuan dan mengembangkan kurikulum PAI yang berbasis
keanekaragaman tersebut dengan suatu pertimbangan kurikulum dan metode
merupakan elemen penting dalam proses belajar mengajar. Jadi penentu
keberhasilan suatu pendidikan yang dapat mencetak karakter seseorang, dengan
peluang inilah kita berusaha memperbaiki komponen yang ada dalam pendidikan itu
sendiri yang akan berpengaruh terhadap keberhasilan suatu pedidikan.
Kedua perlu adanya pendidikan karakter untuk mengendalikan
pemikiran pelajar agar tidak teracuni oleh sikap-sikap negatif yang di hasilkan
oleh radikalisme yang terjadi di kalangan pelajar, untuk mencegah segala
tindakan radikalisme adalah dengan menanamkan rasa cinta tanah air dan rasa
empati terhadap sesama kepada para siswa sehingga tidak ada lagi pemikiran
untuk melakukan tindakan radikal karena telah tergantikan dan tumbuh menjadi
cinta tanah air dan menghargai perbedaan khususnya dibidang agama.
IV.KESIMPULAN
1.
Radikalisme
menurut bahasa, berasal dari bahasa Latin radix, radicis, artinya akar,
Dalam kaitannya mengenai pendidikan, sikap radikalisme sering di kaitkan
sebagai kekerasan yang di lakukan oleh peserta didik. Sikap-sikap yang terlalu
fanatik dan kekerasan watak yang,
sehingga membentuk mereka menjadi generasi-generasi anarkis sedangkan Pluralisme
menurut bahasa terdiri dari dua kata plural (=beragam) dan isme
(=paham) yang berarti beragam pemahaman, atau bermacam-macam paham. Kaitannya dengan pendidikan Yaitu
suatu bentuk pendidikan yang menumbuhkan akan tata nilai, memupuk persahabatan
antara siswa yang beraneka ragam suku, ras, dan agama, mengembangkan sikap
saling memahami dll.
2.
Cara menghindari
radikalisme dan menampilkan wajah pluralisme dalam dunia pendidikan Islam di
Indonesia. pertama perlu diadakannya
pembaharuan dan mengembangkan kurikulum PAI yang berbasis keanekaragaman Kedua perlu adanya pendidikan karakter
untuk mengendalikan pemikiran pelajar agar tidak teracuni oleh sikap-sikap
negatif yang di hasilkan oleh radikalisme
V. DAFTAR
PUSTAKA
Suryadinata
cs, Penduduk Indonesia, Jakarta:
LP3ES, 2003
Tim
Penyusun KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, jakarta, 2001
F.J. Moreno, Agama Dan Akal Fikiran, terjemahan Rajawali, Jakarta, 1985
Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis, Wacana Kesetaraan Kaum
Beriman, Paramadina, Jakarta, 2001
Armahedi
Mahzar dalam pengantar untuk terjemahan R. Garaudy, Islam Fundamentalis dan
Fundamentalis lainnya, Pustaka, Bandung, 1993
Azyumardi
Azra, Konteks Berteologi di Indonesia, Pengalaman Islam, Paramadina, Jakarta,
1999
0 komentar: on "Makalah PAI"
Posting Komentar