SHALAT JUMAT TANPA MUSTAUTHIN
DAN MUQIMIN
Tugas
Mata Kuliah : Masail Fiqhiah
I. PENDAHULUAN
Allah menciptakan manusia tidak lain hanyalah
untuk melaksanakan ibadah, Ibadah merupakan aktivitas manusia dalam kehidupan
sehari-hari. Dan juga sebagai alat komunikasi kepada Allah serta mendekatkan
diri kepadaNya selain melakukan dzikir. Banyak ibadah yang Allah perintahkan
kepada hambanya seperti sholat, zakat, puasa, haji, kurban dan sebagainya.
Pada dasarnya manusia telah di peringatkan oleh
Allah SWT dikehidupan ini bahwa kehidupan didunia hanyalah persinggahan semata,
tidak abadi dan akan hancur, tetapi kelak di akhirat lah zaman yang kekal.
Semua nya tinggal bagaimana kita menyikapi hidup di dunia, karena jika menanamkan banyak kebaikan pasti di alam
akherat kelak juga akan banyak menuai kebaikan, tetapi sebaliknya jika kita
melakukan keburukan, maka tunggu lah siska Allah SWT kelak. salah satu yang
dapat menyelamatkan kita dari siskaan Allah yang pedih adalah ibadah, karena
suatu alasan manusia diciptakan dimuka bumi ini adalah untuk beribadah.
Dari sekian banyak ibadah yang diperintahkan
kepada hambanya, yang paling pertama di hisab adalah ibadah shalat, shalat
adalah tiang agama islam. Bermacam-macam shalat yang Allah perintahkan kepada kita,
diantara salah satunya adalah ibadah shalat jum’at, ibadah yang dilakukan satu
minggu sekali yaitu pada hari jum’at dan bertepatan pada waktu dzuhur.
Hari Jum’at adalah salah satu hari istimewa
Islam, Tonggak agama yang mengakar pada ritual shalat fardhu menjadi lebih
syarat makna, ketika waktu ini menjadi istimewa dengan adanya perintah
menjalankan syiar shalat jum’at ditengah umat. Shalat jum’at sebagai rutinitas
ritual, menjadi penopang syiar yang efektif dalam membentuk sebuah tradisi
jama’I, yaitu keinginan untuk berpegang pada tali Allah dalam rangka berjuang
mengangkat panji-panji Islam.
II. RUMUSAN
MASALAH
1.
Apa itu shalat jum’at, dan bagai manakah
hukumnya?
2.
Apa itu mustauthin dan mukimin?
3. Bagaimana hukumnya shalat jum’at tanpa
mustauthin dan mukimin?
III.
PEMBAHASAN
1.
Apa itu shalat jum’at dan bagai manakah
hukumnya.?
· Pengertian shalat jum’at
shalat jumat ialah shalat yang
dilaksanakan pada waktu jumat, dan waktunya pada waktu dhuhur yang berjumlah
dua rakaat yang dilakukan secara berjamaah dan dilaksanakan setelah khutbah.
Sholat Jum’at hukumnya wajib ‘ain artinya wajib
atas setiap laki-laki dewasa yang beragama islam, merdeka, dan tetap di dalam
negeri. Perempuan kanak-kanak,hamba sahaya, dan orang dalam perjalanan tidak
jauh wajib sholat Jum’at. Firman Allah SWT dalam surah Al-jumu’ah ayat 9:
ياايهاالذين امنوا اذا نودي للصلوة من يوم الجمعة فاسعوا الى ذكر الله وذروا البيع : الجمعة :
Artinya: :
Hai orang orang yang yang beriman, apabila diseru untuk menuaikan sholat pada hari Jum at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli . (QS.Al-jumu’ah: 9 )
Seorang
musafir tidak berkewajiban melaksanakan sholat jum’at
Sabda Rasulullah SAW :
Sabda Rasulullah SAW :
الجمعة حق واجب على كل مسلم في جماعة
الا اربعة عبد مملوك اوامرأة او صبي اومريض ( رواه ابودود والحاكم )
Artinya: :
Sholat Jum’at hak yang wajib dikerjakan oleh tiap-tiap orang islam dengan berjamaah, kecuali empat orang : (1.) Hamba sahaya yang dimiliki (2.) Perempuan (3.) Anak anak (4.) Orang sakit. ( HR. Abu Dawud dan Hakim)
Sholat Jum’at hak yang wajib dikerjakan oleh tiap-tiap orang islam dengan berjamaah, kecuali empat orang : (1.) Hamba sahaya yang dimiliki (2.) Perempuan (3.) Anak anak (4.) Orang sakit. ( HR. Abu Dawud dan Hakim)
·
Syarat- syarat shalat jum’at dibagi menjadi 2
bagian, syarat shalat jum’at dan syarat sah shalat jum’at.
1.
Syarat-syarat shalat jum’at
a. Laki-laki, sedangkan wanita tidak diwajibkan
untuk shalat jumat namun bila diamengerjakan, maka kewajiban shalat zuhurnya
telah gugur (tidak perlu shalat zhuhur lagi).
b. Dalam keadaan sehat, sedangkan orang sakit
tidak wajib shalat jumat.
c. Dewasa yaitu baligh, sedang anak-anak tidak
wajib shalat jumat.
d.
Muqimin yaitu orang yang menetap bukan musafir
atau yang sedang dalam perjalanan.
e. Merdeka bukan hamba sahaya. Namun ulama berbeda
pendapat tentang dua nomor terakhir itu, apakah termasuk atau tidak.
2.
Syarat-syarat sah shalat jum’at
a. Harus dilaksanakan secara berjama’ah, pada
rakaat pertama, imam berniat menjadi imam dan ma’mum berniat menjadi berma’mum
yang bersamaan dengan takbiratul ikhram. Pada rakaat keduanya disyaratkan harus
berjamaah. Karena itu, jika imam rakaat pertama berjamaah dengan ma’mun 40
orang, lalu imam berhadas, lantas mereka meneruskan shalatnya sendiri-sendiri,
atau imam tidak berhadas, tetapi mereka memisahkan dari imam (mufaraqah) pada
rakaat kedua dan meneruskan sendiri-sendiri, maka shalat jum’atnya tetap sah.
b. Shalat jum’at harus dikerjakan oleh 40 orang
termasuk imamnya, dimana mereka ini adalah orang-orang yang menjadikan kesahan
jum’at, sekalipun sedang sakit.
c. Shalat jumat diadakan di tempat yang memang
diperuntukkan untuk sholat jumat. Tidak perlu mengadakan pelaksanaan solat
jum’at di tempat sementara seperti tanah kosong, ladang, kebun, dan juga shalat
jum’at diselenggarakan pada tempat yang termasuk balad (baik itu wilayah
ibukota, daerah ataupun desa) sekalipun daerah padang (tanah lapang).
d. Shalat jum’at diselenggarakan pada waktu
dhuhur. Jika waktu sudah tidak mencukupi menunaikan shalat jum’at dan kedua
khotbahnya, atau hal tersebut masih diragukannya, maka mereka harus melakukan
shalat dhuhur.
e. Shalat jum’at diselenggarakan setelah dua
khotbah yang dikerjakan sesudah tergelincir matahari, berdasarkan hadis Imam
Bukhari-Muslim, bahwa Rasulullah saw, shalat jum’at selalu setelah dua khutbah.
Maksudnya, shalat jum’at tersebut diselenggarakan setelah dua khotbah beserta
rukun-rukunnya
2.
tentang mustauthin dan mukimin.
Mustautin (Arab, مستوطن) adalah
orang yang tinggal di suatu tempat dengan niat untuk menetap selamanya di situ,
baik dia penduduk asli atau bukan. dan tidak punya niat untuk meninggalkan
daerah tersebut kecuali untuk kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya sementara.
Mustauthinin dalam hal ini boleh diartikan sebagai penduduk setempat yang
umumnya mempunyai KTP daerah tersebut. Golongan ini wajib melaksanakan shalat
jum’at sekaligus mengesahkan shalat jum’at.
Muqimin adalah orang yang bertempat tinggal di
suatu daerah selama empat hari atau lebih (tidak ada batas maksimal, meskipun
bertahun-tahun), akan tetapi masih mempunyai niat untuk meninggalkan daerah itu
dan kembali ketempat mereka berasal, contoh paling sering dimunculkan adalah
santri Pondok Pesantren, meskipun mereka tinggal di pesantren selama
bertahun-tahun akan tetapi mereka masih mempunyai keinginan meninggalkan
pesantren dan kembali ke kampung halaman mereka. Golongan ini wajib
melaksanakan shalat jum’at, akan tetapi tidak bisa mengesahkan shalat jum’at.
3. Bagaimanakah hukumnya shalat jum’at tanpa
mustauthin dan mukimin.
Shalat jum’at tanpa mustauthin dan mukimin hukumnya tidak wajib dan juga tidak sah. Dasar pengambilan hukum antara lain dari :
Shalat jum’at tanpa mustauthin dan mukimin hukumnya tidak wajib dan juga tidak sah. Dasar pengambilan hukum antara lain dari :
Kitab
Tuhfah al-Thullab (Asy Syarqowi ) juz : 1
262
وثانيها اقامتها باربعين ولو بالامام مسلما مكلفا حرا ذكرا للاتباع
رواه البيهقى
Dan keduanya (syarat wajib jum’at) adalah
mendirikan Sholat Jum’at dengan jumlah 40 orang, meskipun imam disertakan yang
beragama Islam, mukallaf, merdeka, dan leleki karena mengikuti Sunnah Nabi.
وغيره مع خبر صلوا كما رايتموني اصلى متوطنا
بمحل الجمعة لايظعن شتا ء ولاصيفا الالحاجةلانه صلى الله عليه وسلم لم يجمع بحجة
الوداع مع عزمه على الاقامة اياما لعدم التوطن وكان يوم عرفة
فيها يوم جمعةوصلى بها الظهر والعصر تقديما رواه
مسلم[1]
Sholatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku
melakukan shalat dalam keadaan menetap pada tempat jum’atan yang tidak pergi
pada musim dingin dan panas melainkan karena ada hajat. Karena Nabi saw tidak
melaksanakan sholat jum’at pada waktu haji wada’, yang azamnya mukim beberapa hari,
karena tidak menetap tempat tinggalnya. Padahal hari Arafah, hari jum’at tapi
beliau sholat dhuhur dan ashar dijama’ Taqdim (HR. Muslim)
Shalat jumat yang dilakukan oleh orang-orang yang
mukim atau musafir seperti karyawan pabrik/ perusahaan atau seorang mahasiswa
adalah sah jika tempat melakukan salat jumat tersebut sah menurut syarat-syarat
yang telah ditentukan oleh syari’at islam. Akan tetapi mereka ini tidak sah
dijadikan hitungan sebagai ahli jumat ditempat melakukan shalat jumat tersebut.
Mengenai shalat jumat yang diadakan di
sekolah/ kampus atau lingkngan pabrik, selama ahli jumatnya yang terdiri dari
orang-orang yang mustautin ada sejumlah 40 orang (menurut madzhab Syafi’i)
laki-laki, orang merdeka bukan budak, sehat pendengarannya dan semua dapat
membaca al quran dengan benar, dan meskipun hari libur bertepatan dengan hari
jumat, salat jumat ditempat tersebut tetap ada (tidak diliburkan). Sedangkan
tempatnya cukup jauh dengan tempat mendirikan salat jumat yang lain(minimal
1666 m, menurut keputusan muktamar NU), maka mendirikan salat jumat ditempat
tersebut adalah sah.
Di kota-kota besar, seperti Jakarta dan
Surabaya, banyak kantor, pertokoan, kawasan industri dan kompleks perumahan
yang menyelenggarakan sholat Jum’at. Jama’ah shalat terdiri dari
pegawai/karyawan atau orang-orang yang tidak tergolong penduduk asli (
mustauthin ) atau orang-orang yang berdomilisi untuk sementara waktu di tempat
tersebut ( muqimin ). Kalau pun ada, jumlahnya sedikit dan tidak memenuhi
jumlah yang disyaratkan untuk sahnya mendirikan sholat Jum’at. Pertanyaannya
adalah: bagaimana hukum shalat Jum’at yang dilakukan di perkantoran,
hotel-hotel dan restauran-restauran dan tempat-tempat lain seperti yang
disebutkan tadi, Dalam menjawab pertanyaan ini, Majlis Diskusi Ilmiah Al
Ghadier menyepakati perlunya melihat permasalahan ini dari dua syarat bagi
sahnya mendirikan sholat jumat; syarat pertama adalah al istiithan (pelaku
sholat Jum’at harus penduduk setempat dengan jumlah tertentu) dan syarat yang
kedua adalah ‘adam at ta’addud(tidak ada du jum’at atau lebih dalam satu
tempat) Untuk syarat pertama, ulama membedakan para pelaku sholat Jum’at dalam
tiga status kependudukan, yaitu; Mustauthinin, Muqimin dan Musafirin.
Mustauthinin dalam hal ini boleh diartikan sebagai penduduk setempat yang
umumnya mempunyai KTP daerah tersebut. Muqimin adalah orang yang bertempat
tinggal di suatu daerah selama empat hari atau lebih (tidak ada batas maksimal,
meskipun bertahun-tahun), akan tetapi masih mempunyai niat untuk meninggalkan daerah
itu dan kembali ketempat mereka berasal (contoh paling sering dimunculkan
adalah santri Pondok Pesantren, meskipun mereka tinggal di pesantren selama
bertahun-tahun akan tetapi mereka masih mempunyai keinginan meninggalkan
pesantren dan kembali ke kampung halaman mereka). Sedangkan musafirin adalah
mereka yang masih dalam perjalananan atau belum menetap di sebuah daerah
minimal selama empat hari (lihat kitab Fathul Muín, hlm : 40)
Kaitan dengan sahnya mendirikan sholat
Jum’at, mayoritas ulama syafi’iyyah menegaskan bahwa sholat jum’ah harus
dilaksanakan oleh Mustauthinin dengan jumlah minimal empat puluh orang. Oleh
karena itu, bila mengikuti pendapat mayoritas ulama syafi’iyah ini maka hukum
sholat jum’at yang dilaksanakan di
perkantoran, hotel-hotel dan rumah sakit-rumah sakit di kota-kota besar adalah
tidak sah karena mereka yang mengikuti sholat Jum’ah umumnya bukan penduduk
setempat melainkan para pendatang dari daerah lain. Dalam istilah bahasa fiqh
mereka bukan mustauthinin akan tetapi musafirin. Kalaupun ada mereka yang sudah
menetap di tempat tersebut seperti penjaga kantor atau karyawan yang dirumahkan
disekitar kantor, umumnya mereka tidak menetap untuk selama lamanya akan tetapi
suatu saat mereka akan kembali ke daerah asal mereka. Mereka disebut sebagai
muqimin dan tidak dapat memenuhi syarat sahnya mendirikan sholat jum’at.
Tentunya, bila dalam jamaah sholat Jum’ah yang diadakan di
perkantoran-perkantoran tersebut terdapat penduduk setempat lebih dari 40 orang
maka sholat jum’ahnya sah, akan tetapi yang terakhir ini jarang sekali terjadi
Jelaslah
dari penjelasan diatas tentang hukum ta’addud al Jum’ah, dan melihat kenyataan
bahwa sholat Jum’at yang diadakan tanpa mustaithin dan muqimin sebagai contoh dikantor-kantor
dan tempat-tempat yang serupa umumnya berdekatan dengan sholat jum’at yang lain
dan umumnya tidak ada alasan syar’i yang melandasi didirikannya dua atau lebih
sholat Jum’at di satu tempat tersebut maka menurut mayoritas syafi’iyyah hukum
sholat jum’at yang kedua dan seterusnya tidak sah.
IV.
KESIMPULAN
·
Shalat jumat ialah shalat yang dilaksanakan
pada waktu jumat, dan waktunya pada waktu dhuhur yang berjumlah dua rakaat yang
dilakukan secara berjamaah dan dilaksanakan setelah khutbah.
Sholat Jum’at hukumnya wajib ‘ain artinya wajib
atas setiap laki-laki dewasa yang beragama islam, merdeka, dan tetap di dalam
negeri.
· Mustautin adalah
orang yang tinggal di suatu tempat dengan niat untuk menetap selamanya di situ,
baik dia penduduk asli atau bukan.
Muqimin
adalah orang yang bertempat tinggal di suatu daerah selama empat hari atau
lebih (tidak ada batas maksimal, meskipun bertahun-tahun), akan tetapi masih
mempunyai niat untuk meninggalkan daerah itu dan kembali ketempat mereka
berasal.
·
Shalat jum’at tanpa mustauthin dan mukimin
hukumnya tidak wajib dan juga tidak sah, tetapi hukum itu terjadi perbedann
pendapat dikalangan madzhab dan para ulama ahli fiqh.
V.
DAFTAR PUSTAKA
Moh.
Saifullah Al Azizi S. Fiqih islam lengkap, Terbit Terang, Surabaya, 1999,
Abul
Hiyadhy, terjemahan Fathul mu’in, Al-Hidayah, Surabaya, 1998
As-syarqowi, Kitab Tuhfah al-Thullab,
Syarqowi Ala attahrir, juzz 1 Al Hidayah, surabaya.




0 komentar: on "Makalah PAI"
Posting Komentar