welcome to my blog

Kamis, 29 November 2012

Makalah PAI


SHALAT JUMAT TANPA MUSTAUTHIN DAN MUQIMIN
Tugas Mata Kuliah : Masail Fiqhiah

I.    PENDAHULUAN
Allah menciptakan manusia tidak lain hanyalah untuk melaksanakan ibadah, Ibadah merupakan aktivitas manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dan juga sebagai alat komunikasi kepada Allah serta mendekatkan diri kepadaNya selain melakukan dzikir. Banyak ibadah yang Allah perintahkan kepada hambanya seperti sholat, zakat, puasa, haji, kurban dan sebagainya.
Pada dasarnya manusia telah di peringatkan oleh Allah SWT dikehidupan ini bahwa kehidupan didunia hanyalah persinggahan semata, tidak abadi dan akan hancur, tetapi kelak di akhirat lah zaman yang kekal. Semua nya tinggal bagaimana kita menyikapi  hidup di dunia, karena  jika menanamkan banyak kebaikan pasti di alam akherat kelak juga akan banyak menuai kebaikan, tetapi sebaliknya jika kita melakukan keburukan, maka tunggu lah siska Allah SWT kelak. salah satu yang dapat menyelamatkan kita dari siskaan Allah yang pedih adalah ibadah, karena suatu alasan manusia diciptakan dimuka bumi ini adalah untuk beribadah.
Dari sekian banyak ibadah yang diperintahkan kepada hambanya, yang paling pertama di hisab adalah ibadah shalat, shalat adalah tiang agama islam. Bermacam-macam shalat yang Allah perintahkan kepada kita, diantara salah satunya adalah ibadah shalat jum’at, ibadah yang dilakukan satu minggu sekali yaitu pada hari jum’at dan bertepatan pada waktu dzuhur.
Hari Jum’at adalah salah satu hari istimewa Islam, Tonggak agama yang mengakar pada ritual shalat fardhu menjadi lebih syarat makna, ketika waktu ini menjadi istimewa dengan adanya perintah menjalankan syiar shalat jum’at ditengah umat. Shalat jum’at sebagai rutinitas ritual, menjadi penopang syiar yang efektif dalam membentuk sebuah tradisi jama’I, yaitu keinginan untuk berpegang pada tali Allah dalam rangka berjuang mengangkat panji-panji Islam.
II.  RUMUSAN MASALAH
1.     Apa itu shalat jum’at, dan bagai manakah hukumnya?
2.     Apa itu mustauthin dan mukimin?
3.     Bagaimana hukumnya shalat jum’at tanpa mustauthin dan mukimin?

III. PEMBAHASAN
     1.   Apa itu shalat jum’at dan bagai manakah hukumnya.?
·                 Pengertian shalat jum’at
            shalat jumat ialah shalat yang dilaksanakan pada waktu jumat, dan waktunya pada waktu dhuhur yang berjumlah dua rakaat yang dilakukan secara berjamaah dan dilaksanakan setelah khutbah.
Sholat Jum’at hukumnya wajib ‘ain artinya wajib atas setiap laki-laki dewasa yang beragama islam, merdeka, dan tetap di dalam negeri. Perempuan kanak-kanak,hamba sahaya, dan orang dalam perjalanan tidak jauh wajib sholat Jum’at. Firman Allah SWT dalam surah Al-jumu’ah ayat 9:

ياايهاالذين امنوا اذا نودي للصلوة من يوم الجمعة فاسعوا الى ذكر الله وذروا البيع : الجمعة :
Artinya: :
            Hai orang orang yang yang beriman, apabila diseru untuk menuaikan sholat pada hari Jum at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli . (QS.Al-jumu’ah: 9 )
Seorang musafir tidak berkewajiban melaksanakan sholat jum’at
Sabda Rasulullah SAW :
الجمعة حق واجب على كل مسلم في جماعة الا اربعة عبد مملوك اوامرأة او صبي اومريض ( رواه ابودود والحاكم )
Artinya: :
            Sholat Jum’at hak yang wajib dikerjakan oleh tiap-tiap orang islam dengan berjamaah, kecuali empat orang : (1.) Hamba sahaya yang dimiliki (2.) Perempuan (3.) Anak anak (4.) Orang sakit. ( HR. Abu Dawud dan Hakim)
·                    Syarat- syarat shalat jum’at dibagi menjadi 2 bagian, syarat shalat jum’at dan syarat sah shalat jum’at.
1. Syarat-syarat shalat jum’at
a. Laki-laki, sedangkan wanita tidak diwajibkan untuk shalat jumat namun bila diamengerjakan, maka kewajiban shalat zuhurnya telah gugur (tidak perlu shalat zhuhur lagi).
b.    Dalam keadaan sehat, sedangkan orang sakit tidak wajib shalat jumat.
c.      Dewasa yaitu baligh, sedang anak-anak tidak wajib shalat jumat.
d.     Muqimin yaitu orang yang menetap bukan musafir atau yang sedang dalam perjalanan.
e.  Merdeka bukan hamba sahaya. Namun ulama berbeda pendapat tentang dua nomor terakhir itu, apakah termasuk atau tidak.
2. Syarat-syarat sah shalat jum’at
    a.   Harus dilaksanakan secara berjama’ah, pada rakaat pertama, imam berniat menjadi imam dan ma’mum berniat menjadi berma’mum yang bersamaan dengan takbiratul ikhram. Pada rakaat keduanya disyaratkan harus berjamaah. Karena itu, jika imam rakaat pertama berjamaah dengan ma’mun 40 orang, lalu imam berhadas, lantas mereka meneruskan shalatnya sendiri-sendiri, atau imam tidak berhadas, tetapi mereka memisahkan dari imam (mufaraqah) pada rakaat kedua dan meneruskan sendiri-sendiri, maka shalat jum’atnya tetap sah.
  b. Shalat jum’at harus dikerjakan oleh 40 orang termasuk imamnya, dimana mereka ini adalah orang-orang yang menjadikan kesahan jum’at, sekalipun sedang sakit.
   c. Shalat jumat diadakan di tempat yang memang diperuntukkan untuk sholat jumat. Tidak perlu mengadakan pelaksanaan solat jum’at di tempat sementara seperti tanah kosong, ladang, kebun, dan juga shalat jum’at diselenggarakan pada tempat yang termasuk balad (baik itu wilayah ibukota, daerah ataupun desa) sekalipun daerah padang (tanah lapang).
  d. Shalat jum’at diselenggarakan pada waktu dhuhur. Jika waktu sudah tidak mencukupi menunaikan shalat jum’at dan kedua khotbahnya, atau hal tersebut masih diragukannya, maka mereka harus melakukan shalat dhuhur.
  e. Shalat jum’at diselenggarakan setelah dua khotbah yang dikerjakan sesudah tergelincir matahari, berdasarkan hadis Imam Bukhari-Muslim, bahwa Rasulullah saw, shalat jum’at selalu setelah dua khutbah. Maksudnya, shalat jum’at tersebut diselenggarakan setelah dua khotbah beserta rukun-rukunnya
2.   tentang mustauthin dan mukimin.
       Mustautin (Arab, مستوطن) adalah orang yang tinggal di suatu tempat dengan niat untuk menetap selamanya di situ, baik dia penduduk asli atau bukan. dan tidak punya niat untuk meninggalkan daerah tersebut kecuali untuk kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya sementara. Mustauthinin dalam hal ini boleh diartikan sebagai penduduk setempat yang umumnya mempunyai KTP daerah tersebut. Golongan ini wajib melaksanakan shalat jum’at sekaligus mengesahkan shalat jum’at.
         Muqimin adalah orang yang bertempat tinggal di suatu daerah selama empat hari atau lebih (tidak ada batas maksimal, meskipun bertahun-tahun), akan tetapi masih mempunyai niat untuk meninggalkan daerah itu dan kembali ketempat mereka berasal, contoh paling sering dimunculkan adalah santri Pondok Pesantren, meskipun mereka tinggal di pesantren selama bertahun-tahun akan tetapi mereka masih mempunyai keinginan meninggalkan pesantren dan kembali ke kampung halaman mereka. Golongan ini wajib melaksanakan shalat jum’at, akan tetapi tidak bisa mengesahkan shalat jum’at.
3.  Bagaimanakah hukumnya shalat jum’at tanpa mustauthin dan mukimin.
       Shalat jum’at tanpa mustauthin dan mukimin hukumnya tidak wajib dan juga tidak sah. Dasar pengambilan hukum antara lain dari :
Kitab Tuhfah al-Thullab (Asy Syarqowi ) juz : 1  262

وثانيها اقامتها باربعين ولو بالامام مسلما مكلفا حرا ذكرا للاتباع رواه البيهقى
Dan keduanya (syarat wajib jum’at) adalah mendirikan Sholat Jum’at dengan jumlah 40 orang, meskipun imam disertakan yang beragama Islam, mukallaf, merdeka, dan leleki karena mengikuti Sunnah Nabi.

 وغيره مع خبر صلوا كما رايتموني اصلى متوطنا بمحل الجمعة لايظعن شتا ء ولاصيفا الالحاجةلانه صلى الله عليه وسلم لم يجمع بحجة الوداع مع عزمه على الاقامة اياما لعدم التوطن وكان يوم عرفة
 فيها يوم جمعةوصلى بها الظهر والعصر تقديما رواه مسلم[1]
       Sholatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku melakukan shalat dalam keadaan menetap pada tempat jum’atan yang tidak pergi pada musim dingin dan panas melainkan karena ada hajat. Karena Nabi saw tidak melaksanakan sholat jum’at pada waktu haji wada’, yang azamnya mukim beberapa hari, karena tidak menetap tempat tinggalnya. Padahal hari Arafah, hari jum’at tapi beliau sholat dhuhur dan ashar dijama’ Taqdim (HR. Muslim)
Shalat  jumat yang dilakukan oleh orang-orang yang mukim atau musafir seperti karyawan pabrik/ perusahaan atau seorang mahasiswa adalah sah jika tempat melakukan salat jumat tersebut sah menurut syarat-syarat yang telah ditentukan oleh syari’at islam. Akan tetapi mereka ini tidak sah dijadikan hitungan sebagai ahli jumat ditempat melakukan shalat jumat tersebut.
     Mengenai shalat jumat yang diadakan di sekolah/ kampus atau lingkngan pabrik, selama ahli jumatnya yang terdiri dari orang-orang yang mustautin ada sejumlah 40 orang (menurut madzhab Syafi’i) laki-laki, orang merdeka bukan budak, sehat pendengarannya dan semua dapat membaca al quran dengan benar, dan meskipun hari libur bertepatan dengan hari jumat, salat jumat ditempat tersebut tetap ada (tidak diliburkan). Sedangkan tempatnya cukup jauh dengan tempat mendirikan salat jumat yang lain(minimal 1666 m, menurut keputusan muktamar NU), maka mendirikan salat jumat ditempat tersebut adalah sah.
    Di kota-kota besar, seperti Jakarta dan Surabaya, banyak kantor, pertokoan, kawasan industri dan kompleks perumahan yang menyelenggarakan sholat Jum’at. Jama’ah shalat terdiri dari pegawai/karyawan atau orang-orang yang tidak tergolong penduduk asli ( mustauthin ) atau orang-orang yang berdomilisi untuk sementara waktu di tempat tersebut ( muqimin ). Kalau pun ada, jumlahnya sedikit dan tidak memenuhi jumlah yang disyaratkan untuk sahnya mendirikan sholat Jum’at. Pertanyaannya adalah: bagaimana hukum shalat Jum’at yang dilakukan di perkantoran, hotel-hotel dan restauran-restauran dan tempat-tempat lain seperti yang disebutkan tadi, Dalam menjawab pertanyaan ini, Majlis Diskusi Ilmiah Al Ghadier menyepakati perlunya melihat permasalahan ini dari dua syarat bagi sahnya mendirikan sholat jumat; syarat pertama adalah al istiithan (pelaku sholat Jum’at harus penduduk setempat dengan jumlah tertentu) dan syarat yang kedua adalah ‘adam at ta’addud(tidak ada du jum’at atau lebih dalam satu tempat) Untuk syarat pertama, ulama membedakan para pelaku sholat Jum’at dalam tiga status kependudukan, yaitu; Mustauthinin, Muqimin dan Musafirin. Mustauthinin dalam hal ini boleh diartikan sebagai penduduk setempat yang umumnya mempunyai KTP daerah tersebut. Muqimin adalah orang yang bertempat tinggal di suatu daerah selama empat hari atau lebih (tidak ada batas maksimal, meskipun bertahun-tahun), akan tetapi masih mempunyai niat untuk meninggalkan daerah itu dan kembali ketempat mereka berasal (contoh paling sering dimunculkan adalah santri Pondok Pesantren, meskipun mereka tinggal di pesantren selama bertahun-tahun akan tetapi mereka masih mempunyai keinginan meninggalkan pesantren dan kembali ke kampung halaman mereka). Sedangkan musafirin adalah mereka yang masih dalam perjalananan atau belum menetap di sebuah daerah minimal selama empat hari (lihat kitab Fathul Muín, hlm : 40)
Kaitan dengan sahnya mendirikan sholat Jum’at, mayoritas ulama syafi’iyyah menegaskan bahwa sholat jum’ah harus dilaksanakan oleh Mustauthinin dengan jumlah minimal empat puluh orang. Oleh karena itu, bila mengikuti pendapat mayoritas ulama syafi’iyah ini maka hukum sholat  jum’at yang dilaksanakan di perkantoran, hotel-hotel dan rumah sakit-rumah sakit di kota-kota besar adalah tidak sah karena mereka yang mengikuti sholat Jum’ah umumnya bukan penduduk setempat melainkan para pendatang dari daerah lain. Dalam istilah bahasa fiqh mereka bukan mustauthinin akan tetapi musafirin. Kalaupun ada mereka yang sudah menetap di tempat tersebut seperti penjaga kantor atau karyawan yang dirumahkan disekitar kantor, umumnya mereka tidak menetap untuk selama lamanya akan tetapi suatu saat mereka akan kembali ke daerah asal mereka. Mereka disebut sebagai muqimin dan tidak dapat memenuhi syarat sahnya mendirikan sholat jum’at. Tentunya, bila dalam jamaah sholat Jum’ah yang diadakan di perkantoran-perkantoran tersebut terdapat penduduk setempat lebih dari 40 orang maka sholat jum’ahnya sah, akan tetapi yang terakhir ini jarang sekali terjadi
      Jelaslah dari penjelasan diatas tentang hukum ta’addud al Jum’ah, dan melihat kenyataan bahwa sholat Jum’at yang diadakan tanpa mustaithin dan muqimin sebagai contoh dikantor-kantor dan tempat-tempat yang serupa umumnya berdekatan dengan sholat jum’at yang lain dan umumnya tidak ada alasan syar’i yang melandasi didirikannya dua atau lebih sholat Jum’at di satu tempat tersebut maka menurut mayoritas syafi’iyyah hukum sholat jum’at yang kedua dan seterusnya tidak sah.

IV.               KESIMPULAN
·                     Shalat jumat ialah shalat yang dilaksanakan pada waktu jumat, dan waktunya pada waktu dhuhur yang berjumlah dua rakaat yang dilakukan secara berjamaah dan dilaksanakan setelah khutbah.
Sholat Jum’at hukumnya wajib ‘ain artinya wajib atas setiap laki-laki dewasa yang beragama islam, merdeka, dan tetap di dalam negeri.
·            Mustautin  adalah orang yang tinggal di suatu tempat dengan niat untuk menetap selamanya di situ, baik dia penduduk asli atau bukan.
              Muqimin adalah orang yang bertempat tinggal di suatu daerah selama empat hari atau lebih (tidak ada batas maksimal, meskipun bertahun-tahun), akan tetapi masih mempunyai niat untuk meninggalkan daerah itu dan kembali ketempat mereka berasal.
·                         Shalat jum’at tanpa mustauthin dan mukimin hukumnya tidak wajib dan juga tidak sah, tetapi hukum itu terjadi perbedann pendapat dikalangan madzhab dan para ulama ahli fiqh.

V.        DAFTAR PUSTAKA
       Moh. Saifullah Al Azizi S. Fiqih islam lengkap, Terbit Terang, Surabaya,  1999,
       Abul Hiyadhy, terjemahan Fathul mu’in,  Al-Hidayah, Surabaya, 1998
       As-syarqowi, Kitab Tuhfah al-Thullab, Syarqowi Ala attahrir, juzz 1 Al Hidayah, surabaya.





Digg Google Bookmarks reddit Mixx StumbleUpon Technorati Yahoo! Buzz DesignFloat Delicious BlinkList Furl

0 komentar: on "Makalah PAI"

Posting Komentar