welcome to my blog

Jumat, 08 Februari 2013

Sejarah Perencanaan Pendidikan DiIndonesia

A.    Pendahuluan
Lahirnya suatu system pendidikan merupakan salah satu dari hasil perencanaan. Merencanakan pada dasarnya menentukan kegiatan yang hendak dilakukan pada masa depan. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengatur berbagai sumber daya agar hasil yang dicapai sesuai dengan yang diharapkan. Menurut Roger A. Kaufman, perencanaan adalah proses penetuan tujuan atau sasaran yang hendak dicapai dan menetapkan jalan dan sumber yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu seefisien mungkin.  Perencanaan sering juga disebut jembatan yang menghubungkan kesenjangan antara keadaan masa kini dan keadaan yang diharapkan terjadi pada masa yang akan datang. Berbicara masalah waktu, di Indonesia dari zaman dahulu sampai zaman sekarang di bidang pendidikan telah melaksanakan berbagai macam perencanaan pendidikan. Di mulai dari zaman masa sebelum kemerdekaan hingga zaman sekarang. Maka dari itu di sini pemakalah akan membahas mengenai sejarah perencanaan pendidikan dari sebelum kemerdekaan, orde lama, orde baru, hingga zaman reformasi.
B.    Rumusan Masalah
1.    Bagaimana perencanaan pendidikan sebelum kemerdekaan?
2.    Bagaimana perencanaan pendidikan zaman orde lama?
3.    Bagaimana perencanaan pendidikan zaman orde baru?
4.    Bagaimana perencanaan pendidikan zaman reformasi?

C.    Pembahasan
1.    Perencanaan Pendidikan sebelum kemerdekaan
Peraturan pemerintah tahun 1854 menginstruksikan gubernur jenderal untuk mendirikan sekolah dalam tiap kabupaten bagi pendidikan anak pribumi. Peraturan tahun 1863 mewajibkan gubernur jenderal untuk mengusahakan terciptanya situasi yang memungkinkan penduduk bumi putera pada umumnya untuk menikamti pendidikan. Sekolah pendidikan guru dibuka secara beruntun. Yang pertama pada tahun 1852 dan pada tahun 1879 telah ada 10 lembaga serupa itu yang ditempatkan secara strategis untuk tiap golongan suku bangsa diseluruh nusantara.
Pendidikan pada masa sebelum kemerdekaan ini di bawah J. H. Abedanon pendidikan yang sifatnya elitlah ynag diutamakan. Pada tahun 1900 tiga hoofsenscholen (sekolah para kepala) yang lama di bandung, magelang, dan probolinggo disusun kembali menjadi sekolah-sekolah ynag nyata-nyata direncanakan untuk menghasilkan pegawai-pegawai pemerintahan dan diberi nama baru OSVIA (Opleidings scholen voor inlandsche ambtenaren : sekolah-sekolah latihan untuk para pejabat pribumi). Masa kependidikannya kini berlangsung selama lima tahun, dengan bahasa belanda sebagai bahasa pengantarnya dan terbuka bagi semua orang Indonesia yang telah menyelesaikan sekolah rendah Eropa. Calon-calon muridnya tidak lagi harus berasal dari kalangan elite bangsawan. Pada tahun 1927 masa pendidikannya dikurangi menjadi tiga tahun. Pada tahun 1900-2 sekolah “dokter-jawa” di Weltevren diganti menjadi STOVIA (school tot opleiding van inlandsche artsen ; sekolah untuk latihan dokter-dokter pribumi). Mata pelajarannya juga diberikan dalam bahasa belanda. Sejak tahun 1891 sekolah-sekolah rendah eropa, yang merupakan persyaratan wajib untuk dapat memasuki OSVIA dan STOVIA, terbuka untuk orang-orang Indonesia, tetapi hnya orang-orang kayalah ynag mampu membayar uang sekolahannya. Abedanon memperluas kesempatan bagi rakyat Indonesia yang bukan bangsawan untuk memasukinya dan menghapuskan unag sekolah bagi para orang tua yang peghasilannya di bawah 50 gulden per bulan.
Berbagai sekolah kejuruan telah didirikan oleh misi-misi Kristen sejak tahun 1881 di Minahasa, daerah-daerah batak di Sumatera, dan di Jawa. Sekolah-sekolah kejuruan pemerintah yang pertama didirikan di Batavia, Semarang, dan Surabaya pada tahun 1909. Akhirnya sekolah-sekolah tersebut mengajarkan kursus-kursus bagi para pandai besi dan tukang kayu, para tukang listrik, para montir mobil, dsb. Para lulusan sekolah tersebut kadang-kadang menggairahkan perusahaan-perusahaan pribumi, tetapi sebagian besar menjadi karyawan perusahaan eropa.
Orang-orang Indonesia mempunyai kesempatan luas untuk memperoleh pelajaran bahasa belanda, tetapi masih ada masalah yang sifatnya structural. Sekolah kelas satu ditempatkan dalam sisitem pendidikan pribumi, tidak ada kesempatan bagi seorang Indonesia melompat dari system ini ke sisitem eropa yang pararel, yang merupakan satu-satunya lembaga untuk menuju ke pendidikan lanjutan. Oleh karenanya, sekolah-sekolah kelas satu diubah menjadi Hollandsch-Inlandsche Scholen (HIS; sekolah-sekolah belanda pribumi). Di atas tingkatan HIS, pemisah ras dalam pendidikan sudah tidak ada. Pada tahun 1914 sekolah-sekolah MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs; pendidikan rendah yang diperpanjang, semacam SLTP). Pada tahun 1919 AMS (Algemeene Middelbare School; semacam SLTA) didirikan untuk membawa para murid mmasuki tingkat perguruan tinggi. Hingga saat itu, belum ada pendidikan tingkat perguruan tinggi di Indonesia. Sejumlah kecil orang Indonesia yang mendapat kesempatan memasuki pendidikan perguruan tinggi adalah mereka yang berhasil menembus system eropa menuju HBS (Hoogere Burger School; Sekolah menengah tingkat atas) dan kemudian perguruan tinggi di negeri belanda. Pendidikan tingkat universitas, yang tidak memandang ras akhirnya dibuka di Indonesia pada tahun 1920 dengan dibukanya Technisce Hoogeschool (Sekolah Tinggi Teknik) di Bandung. pada tahun 1927 STOVIA diubah menjadi Geneeskundige Hoogeschool (Sekolah Tinggi Kedokteran). Pada tahun 1930-an ada kira-kira 9.600 sekolah dan lebih dari 40 persen anak-anak Indonesia antara umur enam dan Sembilan tahun memasuki sekolah semacam itu selam beberapa waktu, sebagian besar di sekolah-sekolah desa pemerintah dan kebanyakan dengan rasa terpaksa.

2.    Perencanaan pendidikan zaman orde lama
Pada zaman orde lama ini Pendidikan diberi prioritas utama dan jumlah lembaga pendidikan meningkat drastic. Antara tahun 1953 dan 1960 jumlah anak yang memasuki sekolah dasar meningkat dari 1,7 juta menjadi 2,5 juta, tetapi sekitar 60 persen dari jumlah itu pada umumnya keluar sebelum menyelesaikan sekolah. Sekolah-sekolah lanjutan negeri dan swasta (kebanyakan sekolah agama) dan lembaga tingkat universitas bermunculan di mana-mana tetapi terutama sekali di jawa, dan banyak yang mencapai standar tinggi. Dua keuntungan penting dari perluasan pendidikan ini segera tampak nyata. Pada tahun 1930 jumlah orng dewasa yang melek huruf adalah 7,4 persen, sedangkan pada tahun 1961 jumlahnya mencapai 46,7 persen dari jumlah anak-anak di atas usia sepuluh tahun (56,6 persen di Sumatera dan 45,5 persen di Jawa). Untuk penduduk laki-laki antara usia sepuluh dan Sembilan belas tahun jumlahnya di atas 76 persen. Angka-angka tersebut menunjukkan prestasi ynag hebat sejak zaman belanda. Dan pemakaian bahasa Indonesia di seluruh system pendidikan dan juga dalam semua komunikasai resmi dan media massa, benar-benar memantapkan kedudukannya sebagai bahasa nasional. Meningkatnya jumlah orang Indonesia yang melek huruf tercermin pada oplah surat kabar harian yang bagaimanapun juga masih tetap kecil untuk jumlah penduduk sebesar itu. Oplah surat kabar harian meningkat hamper dua kali lipat hanya di bawah 500.000 eksemplar pada tahun 1950 menjadi di atas 933.000 eksemplar pada tahun 1956, sementara oplah majalah-majalah lainnya meningkat tiga kali lipat menjadi di atas 3,3 juta eksemplar dalam kurun waktu yang sama. Akan tetapi pada saat perkembangan-perkembangan yang penuh harapan itu membawa hasil, system demokrasi konstusional yang mungkin di dukung oleh perkembangan-perkembangan sudah hamper kehilangan kepercayaan. Di Negara ini sebagai suatu keseluruhan terdapat hamper sebanyak 807.000 pegawai negeri tetap pada tahun 1960, kira-kira satu orang pegawai mewakili setiap 118 orang penduduk.
Kurikulum pada era Orde Lama di antaranya: 
a.    Rentang Tahun 1945-1968
Kurikulum yang berjalan saat itu dikenal dengan sebutan “Rencana Pelajaran 1947”, yang baru dilaksanakan pada tahun 1950. Orientasi Rencana Pelajaran 1947 tidak menekankan pada pendidikan pikiran. Yang diutamakan adalah: pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat. Pada masa tersebut siswa lebih diarahkan bagaimana cara bersosialisasi dengan masyarakat. Aspek afektif dan psikomotorik lebih ditekankan dengan pengadaan pelajaran kesenian dan pendidikan jasmani.
b.    Rencana Pelajaran Terurai 1952
Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut “Rencana Pelajaran Terurai 1952”. Silabus mata pelajarannya jelas sekali, dan seorang guru mengajar satu mata pelajaran. Pada masa ini memang kebutuhan peserta didik akan ilmu pengetahuan lebih diperhatikan, dan satuan mata pelajaran lebih dirincikan. Guru yang menentukan apa saja yang akan diperoleh siswa di kelas, dan guru pula yang menentukan standar-standar keberhasilan siswa dalam proses pendidikan.
c.    Kurikulum 1964
Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keterampilan, dan jasmaniah. Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis. Pada kurikulum 1964 ini, arah pendidikan mulai merambah lingkup praksis. Dalam pengertian bahwa setiap pelajaran yang diajarkan disekolah dapat berkorelasi positif dengan fungsional praksis siswa dalam masyarakat.

3.    Perencanaan pendidikan zaman orde baru (1966-1998)
Pada zaman orde baru penyediaan pendidikan terus meningkat sampai tingkat yang jauh melebihi penyediaan pendidikan di masa kolonial. Ini tercermin dalam pertumbuhan jumlah penduduk yang melek huruf. Pada tahun 1930 jumlah pendududk dewasa yang melek huruf hanyalah 7,4 persen (13,2 persen untuk pria dan 2,3 persen untuk wanita). Pada tahun 1971 angka-angka untuk pria dan wanita masing-masing adalah 72,0 dan 50,3 persen, dan pada tahun 1980 masing-masing adalah 80,4 dan 63,6 persen. Keuntungan dari pendidikan umum dalam bahasa Indonesia tidak hanyalah terlihat dalam jumlah penduduk ynag melek huruf saja, tetapi juga dalam peningkatan jumlah penduduk yang dapat menggunakan bahasa nasional, yaitu dari 40,8 persen pada tahun 1971 menjadi 61,4 persen pada tahun 1980. Tentu saja hal ini mencerminkan pula dampak dari surat kabar serta majalah-majalah dan bahkan mungkin lebih besar dari radio serta televisi. 
    Kurikulum yang digunakan pada tahun ini adalah 
a.    Kurikulum 1968
Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus.. Pada masa ini siswa hanya berperan sebagai pribadi yang masif, dengan hanya menghapal teori-teori yang ada, tanpa ada pengaplikasian dari teori tersebut. Aspek afektif dan psikomotorik tidak ditonjolkan pada kurikulum ini. Praktis, kurikulum ini hanya menekankan pembentukkan peserta didik hanya dari segi intelektualnya saja.
b.    Kurikulum 1975
Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efektif dan efisien berdasar MBO (management by objective). Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), yang  dikenal dengan istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci menjadi : tujuan instruksional  umum (TIU), tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi. Dengan kurikulum ini semua proses belajar mengajar menjadi sistematis dan bertahap.
c.    Kurikulum 1984
Peran siswa dalam kurikulum ini menjadi mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). CBSA memposisikan guru sebagai fasilitator, sehingga bentuk kegiatan ceramah tidak lagi ditemukan dalam kurikulum ini. Pada kurikulum ini siswa diposisikan sebagai subjek dalam proses belajar mengajar.
d.    Kurikulum 1994
Kurikulum 1994 merupakan hasil upaya untuk memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya, terutama kurikulum 1975 dan 1984. Pada kurikulum ini bentuk opresi kepada siswa mulai terjadi dengan beratnya beban belajar siswa, dari muatan nasional sampai muatan  lokal. Materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa daerah kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain.

4.    Perencanaan pendidikan zaman reformasi
Pendidikan di era reformasi 1999 mengubah wajah sistem pendidikan Indonesia melalui UU No 22 tahun 1999, dengan ini pendidikan menjadi sektor pembangunan yang didesentralisasikan. Pemerintah memperkenalkan model “Manajemen Berbasis Sekolah”. Sementara untuk mengimbangi kebutuhan akan sumber daya manusia yang berkualitas, maka dibuat sistem “Kurikulum Berbasis Kompetensi”.
Memasuki tahun 2003 pemerintah membuat UU No.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menggantikan UU No 2 tahun 1989., dan sejak saat itu pendidikan dipahami sebagai: “usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.” 
Mendiknas kabinet bersatu Bambang Sudibyo memperkenalkan beberapa inovasi penting bagi daerah yang berhasil melaksanakan pembangunan pendidikan, mengelola pengadaan buku untuk sekolah, dan mengembangkan wajib belajar 9 tahun, menetapkan guru sebagai profesi agar bisa sejajar dengan  profesi terhormat lainnya. Kurikulum yang dipakai yaitu :
a.    Kurikulum Berbasis Kompetensi
Kegiatan pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi, sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif. Hal ini mutlak diperlukan mengingat KBK juga memiliki visi untuk memperhatikan aspek afektif dan psikomotorik siswa sebagai subjek pendidikan.
b.    Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006
Pada kurikulum ini sekolah sebagai satuan pendidikan berhak untuk menyusun dan membuat silabus pendidikan sesuai dengan kepentingan siswa dan kepentingan lingkungan. KTSP lebih mendorong pada lokalitas pendidikan. Karena KTSP berdasar pada pelaksanaan KBK, maka siswa juga diberikan kesempatan untuk memperoleh pengetahuan secara terbuka berdasarkan sistem ataupun silabus yang telah ditetapkan oleh masing-masing sekolah.

D.    Analisis pendapat
Dari uraian isi di atas bisa dikatakan bahwa sejarah pendidikan di Indonesia dari masa ke masa dapat mengalami perubahan yang sangat drastis. Dilihat dari jumlah penduduk yang buta huruf yang sangat banyak dan menjadi peningkatan dengan menurunnya jumlah penduduk yang buta huruf. Walaupun usaha pendidikan belanda sebagai tujuan politik belanda yang dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan ekonomis, akan tetapi selama penjajahan itu juga mempunyai keuntungan bagi rakyat Indonesia. Karena belanda telah mendirikan sejumlah sekolah-sekolah yang bermutu tinggi sama dengan di negeri belanda. Kemudian untuk sejarah zaman orde lama sudah meningkat cukup banyak dengan dibuktikannya terdapat hampir sebanyak 807.000 pegawai negeri tetap pada tahun 1960, kira-kira satu orang pegawai mewakili setiap 118 orang penduduk. Dan dibuatnya juga kurikulum  rencana pelajaran 1947, Rencana Pelajaran Terurai 1952, dan kurikulum 1964. Pada masa orde baru yang semakin meningkat, kurikulumnya berganti-ganti tiap kurun waktu tertentu yaitu diantaranya; Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994, dan pada zaman reformasi ini berganti menjadi Kurikulum Berbasis Kompetensi dan zaman sekarang menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

Daftar Pustaka
  Kahar Utsman dan Nadhirin, Perencanaan Pendidikan, Kudus: Buku Daros, 2008.hlm.1.
  Nasution, Dejarah pendidikan Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara, 1995, Hlm.13-14
  M.C.Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1995.
  http://filsufgaul.wordpress.com/2009/08/30/sejarah-pendidikan-indonesia/
  Standar Nasional Pendidikan, Jakarta: Cemerlang, 2005, hlm.102.


Digg Google Bookmarks reddit Mixx StumbleUpon Technorati Yahoo! Buzz DesignFloat Delicious BlinkList Furl

0 komentar: on "Sejarah Perencanaan Pendidikan DiIndonesia"

Posting Komentar